Tentang " Bunga yang harus di sembunyikan "
Aku senang kau telah memporak porandakan semestaku dikala itu. Menaburkan wangimu yang sampai saat ini masih terngiang dalam sela nafasku. Entah kenapa yang jelas aku sangat senang dan bahagia. Karena di antara reruntuhan kenangan membatu, wangimu adalah sebuah hegemoni mesin waktu.
Aku suka lirikan matamu yang coklat penuh arti tersirat, membuat langkahku yang ingin pergi darimu terasa sangat berat. Dengan mata indahmu kau memandang keelokan semesta, dengan matamu jugalah kau mencabik cabik barisan pertahan jiwaku yang telah tercipta. Menusuk kedalam ruang dada, dan dicerna oleh hati yang perasa, sehingga menimbulkanlah hembusan tak terduga, yang para pujangga menamakannya sebuah cinta.
Aku benci senyumanmu yang dipenuhi zat pembius. Sampai aku terlena mati suri hangus dalam ribuan halusinasi yang kau racik secara genius. Dan aku terlempar seperti berada pada alam indah yang misterius, entah venus ,sagitarius, atau merkurius. Yang jelas disana kau menjadi abhati berstimulus
Sedangkan aku menjadi penikmat keindahanmu berskala tanpa pupus.
Aku rindu sosok dirimu yang memberitahu bahwa cinta terpendam adalah sebuah sajak keheningan dengan hati yang saling menggenggam. Jadi apakah salah jika selalu saja namamu pada senja yang kuukir, meski rasa ini tanpa nama, tanpa sebab , tanpa awal, tanpa akhir ?
Entahlah yang jelas aku rindu sang cahayamu pada setiap hentakan rotasi waktu.
Lambat laun kusadari ,setelah selat borporus menyapaku dan membawaku kepada sebuah filosofi bahwa beberapa rindu memang harus sembunyi-sembunyi. Bukan untuk di sampaikan kepada yang dirindukan, tapi hanya untuk dikemas lewat sebuah doa yang dikirimkan. Beberapa rasa tak pantas untuk di publikasikan, tapi harus dibiarkan menjadi rahasia yang tersimpan. Dan bukan untuk diutarakan, namun hanya untuk di syukuri penuh kenikmatan.
Biarlah " apa kabar " menjadi pengganti " aku rindu ", "jaga dirimu baik-baik " menjadi pengganti " aku sayang kamu " , tangannya menjadi pengganti tanganku sebagai penuntunmu, semestanya menjadi pengganti semestaku sebagai tempat terbitmu, pundaknya menjadi pengganti pundakku untukmu bersandar, matanya menjadi pengganti mataku sebagai dzat pemuja keindahanmu. Biarlah hembusan angin, putihnya awan, secangkir kopi, dan ribuan asap pada helaian nafas menjadi penggantimu pada keheningan fondasi asas yang mengelupas.
“ Waktuku kini tak hanya diisi dengan hentakan jarum jam,
karena ada wajahmu di setiap detiknya berputar tajam.
Jantungku kini tak hanya memompa darah
Karena ada namamu mengalir dari segala arah. “