Lorem ipsum
Lorem ipsum 2
Lorem ipsum 3

Menurut Gus Dur , Islam sebagai jalan hidup (syari’at) bisa belajar dan saling mengambil berbagai ideologi non-agama, bahkan juga pandangan dari agama-agama lain. Gus dur menolak terhadap Formalisasi , Ideologisasi , dan Syaria’tisasi islam. Gus Dur melihat bahwa kejayaan Islam justru terletak pada kemampuan agama ini untuk berkembang secara kultural.Dengan kata lain, Gus Dur lebih memberikan apresiasi kepada upaya kulturalisasi (culturalization). 

Ketidaksetujuan gus dur terhadap formalisasi terlihat dalam tafsir ayat al quran " Udkhulu fi as silmi kaffah " yang di tafsirkan secara literal oleh pendukung kaum islam formalis kata  " As silmi " sebagai " islam ", sedangkan gus dur menafsirkan " As silmi " dengan " kedamaian ". Menurut Gus Dur, konsekuensi dari kedua penafsiran itu punya implikasi luas. Mereka yang terbiasa dengan formalisasi, akan terikat kepada upaya-upaya untuk mewujudkan “sistem Islami” secara fundamental dengan mengabaikan pluralitas masyarakat. Akibatnya,pemahaman seperti ini akan menjadikan warga negara non-Muslim menjadi warga negara kelas dua. Bagi Gus Dur, untuk menjadi Muslim yang baik, seorang Muslim kiranya perlu menerima prinsip keimanan, menjalankan ajaran (rukun) Islam secara utuh, menolong mereka yang memerlukan pertolongan,menegakkan profesionalisme, dan bersikap sabar ketika menghadapi cobaan dan ujian. Konsekuensinya, mewujudkan sistem Islami atau formalisasi tidaklah menjadi syarat bagi seseorang untuk diberi predikat sebagai muslim yang taat. 

Gus Dur juga menolak ideologisasi Islam. Bagi Gus Dur, ideologisasi Islam tidak sesuai dengan perkembangan Islam di Indonesia, yang dikenal dengan “negerinya kaum Muslim moderat”. Islam di Indonesia, menurut Gus Dur, muncul dalam keseharian kultural yang tidak berbaju ideologis. Di sisi lain, Gus Dur melihat bahwa ideologisasi Islam mudah mendorong umat Islam kepada upaya-upaya politis yang mengarah pada penafsiran tekstual dan radikal terhadap teks-teks keagamaan. Implikasi paling nyata dari ideologisasi Islam adalah upaya-upaya sejumlah kalangan untuk menjadikan Islam sebagai ideologi alternatif terhadap Pancasila, serta keinginan sejumlah kelompok untuk memperjuangkan kembalinya Piagam Jakarta. 

Selanjutnya Gus Dur juga menolak syari'atisasi islam dalam negara. Menurut Gus Dur, upaya-upaya untuk “ mengIslamkan ” dasar negara dan “ mensyari’atkan ” peraturan-peraturan daerah itu bukan saja a-historis, tetapi juga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Mengutip pendapat mantan Hakim Agung Mesir, Al-Ashmawi, upaya syari’atisasi semacam itu menurut ilmu fiqh termasuk dalam tahsil al-hasil (melakukan hal yang tidak perlu karena sudah dilakukan). 

Penolakan Gus Dur terhadap formalisasi, ideologisasi, dan syari­’atisasi itu mendorongnya untuk tidak menyetujui gagasan tentang negara Islam. Seperti sudah sering dinyatakannya, Gus Dur secara tegas menolak gagasan negara Islam. Sikapnya ini didasari dengan pandangan bahwa Islam sebagai jalan hidup (syari’at) tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara. Gus Dur mengklaim, sepanjang hidupnya ia telah mencari dengan sia - sia makhluk yang bernama negara Islam itu. “Sampai hari ini belum juga saya temukan. Sehingga saya sampai pada kesimpulan bahwa Islam memang tidak memiliki konsep tentang bagaimana negara dibuat dan dipertahankan”. Dasar yang dipakai oleh Gus Dur ada dua. 

1. Islam tidak mengenal pandangan yang jelas dan pasti tentang pergantian kepemimpinan. Itu terbukti ketika Nabi Muhammad wafat dan digantikan oleh Abu Bakar. Pemilihan Abu Bakar sebagai pengganti Rasulullah dilakukan melalui bai’at oleh para kepala suku dan wakil-wakil kelompok ummat yang ada pada waktu itu. Sedangkan Abu bakar sebelum wafat menyatakan kepada kaum Muslimin, hendaknya Umar bin Khattab yang diangkat mengantikan posisinya. Ini berarti, sistem yang dipakai adalah penunjukkan. Sementara Umar menjelang wafatnya meminta agar penggantinya ditunjuk melalui sebuah dewan ahli yang terdiri dari tujuh orang. Lalu dipilihlah Utsman bin Affan untuk menggantikan Umar. Selanjutnya, Utsman digantikan Ali bin Abi Thalib. Pada saat itu, Abu Sufyan juga telah menyiapkan anak cucunya untuk meng­gantikan Ali. Sistem ini kelak menjadi acuan untuk menjadikan kerajaan atau marga yang menurunkan calon-calon raja dan sultan dalam sejarah Islam.
 
2. Besarnya negara yang diidealisasikan oleh Islam, juga tak jelas ukurannya. Nabi Muhammad meninggalkan Madinah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan kaum Muslimin. Tidak ada kejelasan, misalnya, negara Islam yang diidealkan bersifat mendunia dalam konteks negara-bangsa (nation-state), ataukah hanya negara-kota (city-state). 

Sumber : Buku - Gus Dur Islamku, Islam Anda, Islam Kita Hal XVII - XIX

Bila membutuhkan Dokumen PDF ini silahkan klik link dibawah :

Link Download : DOWNLOAD FILE HERE

Post a Comment